Sore itu Aida membantu ibunya menyusun obat-obatan ke dalam rak obat di klinik ibunya yang letaknya hanya beberapa blok dari rumah mereka. Ibunya adalah seorang perawat bidan di rumah sakit negeri di kota itu. Untuk menambah pemasukan, ibunya mendirikan sebuah klinik kecil yang cukup untuk menampung dua orang pasien rawat inap mulai dari modal nol. Ketika belum ada klinik, banyak tetangga dan kenalan ibunya yang sering datang berobat ke rumah, sehingga ibunya termotivasi untuk mendirikan klinik, meskipun saat itu mereka masih hidup pas-pasan.
Awalnya, Ibunya mengontrak sebuah rumah sederhana lalu memugarnya menjadi sebuah klinik mungil. Usaha itu didirikan ibunya ketika Aida masih kelas tiga SMU, atau lebih kurang 5 tahun yang lalu. Disamping itu, Ibunya juga lumayan dikenal sebagai perawat bidan yang cekatan. Pasiennya juga banyak, karena mereka merasa cocok berobat dengan ibunya. Aida sering membantu ibunya di klinik bersama dengan dua orang bidan muda yang bekerja pada ibunya. Pada saat itu, ke dua bidan ibunya sedang cuti, karena hendak melamar pegawai negeri. Ibunya mengizinkan mereka untuk cuti selama dua minggu, dan kebetulan Aida juga sedang libur kuliah. Aida tidak keberatan untuk tinggal di klinik selama bidan-bidan itu cuti.
Sayup-sayup ketika Aida dan ibunya sedang bercakap-cakap, terdengar suara seorang wanita memanggil dari luar pintu. Aida beranjak keluar untuk melihat siapa gerangan orang yang memanggil-manggil itu. Aida melihat seorang ibu setengah baya dan seorang anak perempuan berusia sekitar 12 tahun berdiri di depan pintu, lalu menghampiri mereka.
"Selamat sore ibu, mau berobat ya, siapa yang sakit?" Sapa Aida sambil melihat anak perempuan yang cantik dibalut dengan kaos kuning dan rok selutut berwarna pink itu. "Maaf ya mbak, saya mau langsung sama ibu Uli. ibunya ada?" Sahut wanita itu seakan tidak mau memberitahu apapun kepada Aida.
"Oh, ada apa ya bu?" "Ada hal yang penting yang saya hendak minta tolong ke ibu, tolong ya nak." sahutnya memelas. Baiklah, maaf, dengan ibu siapa ya bu?'” tanya Aida.
"Dengan ibu Etti.." "Bu Etti, silahkan duduk dulu diruang tunggu ya, sebentar ibunya saya panggilkan" Sahut Aida dengan wajah penasaran. Aida menghambur ke dalam dan memanggil ibunya.
"Ma, ibu itu mau bicara sama mama langsung, katanya ada hal penting. Dia mau minta tolong sama mama." “siapa pasiennya, kamu kenal Ida?” “Tidak ma, tapi dia kasih tahu namanya, Ibu Etti. kayaknya dia enggan memberitahukan penyakitnya apa, dia mau langsung bicara sama mama saja katanya.” “Baiklah kalau begitu” Ibu Uli bangkit dari tempat duduknya dan pergi menemui wanita itu di ruang tunggu.
"Selamat sore bu, ada yang saya bisa bantu?" Sahut ibunya pada wanita itu. "Iya ibu, terimakasih sudah memberi waktunya, nama saya Etti, maaf ya Bu Uli, telah menyita waktu ibu.” Ucapnya lirih. “Tidak apa-apa ibu Etti, apa yang bisa saya bantu, Ibu?” “Begini bu, ada hal yang sangat pribadi yang ingin saya ceritakan pada ibu.” Ibu itu terhening beberapa saat, kelihatan sedang mencari kalimat yang tepat untuk mengutarakan maksud kedatangannya menemui ibu Uli.
“Cerita apa ibu Tetti?” “ceritanya rumit sekali ibu.” Akhirnya dia menyeletuk. “Saya bingung mau memulai darimana. Tapi saya mohon ibu bisa menolong saya." "Saya lihat dulu masalah ibu apa, kalau saya sanggup, saya akan bantu" jawab ibu Uli.
Aida menjadi semakin tertarik untuk mengetahui apa yang hendak diceritakan wanita itu.
“Ibu Uli, anak saya sekarang sedang hamil 6 bulan, tapi saya baru mengetahuinya seminggu yang lalu. Setelah saya lihat gerak-gerik anak saya kelihatan aneh, saya bertanya ada apa, tapi dia sulit menjawab. Lalu setelah saya paksa, baru dia mau cerita.” “Semakin serius” bisik Aida dalam hati dan mendekati mereka sambil pura-pura sibuk memindah-mindahkan botol obat agar bisa mendengar lebih seksama percakapan mereka.
Namun ibunya memanggilnya untuk membawa anak itu masuk ke ruang periksa dan memeriksa tekanan darahnya. Suara ibunya dan ibu itupun perlahan hilang ketika Aida dan anak itu masuk ke ruang periksa. Aida mengambil Tensimeter, lalu menyuruh anak itu untuk berbaring di tempat tidur. “Hmm.. 90 per 70. normal..” gumam Aida. Diliriknya perut anak remaja umur 12 tahun itu. “perutnya tidak begitu besar.” Ucap Aida dalam benaknya. Lalu Aida memeriksa juga perutnya, pakai alat berbentuk pompa yang sering dipakai ibunya untuk memeriksa perut hamil para pasiennya itu.
Diletakkannya alat itu di atas perut anak kecil yang membuncit itu lalu diletakkannya telinganya di ujung benda itu dan memindahkannya lagi untuk meyakinkan apakah denyutan yang didengarkan dan dirasakannya itu benar. “wah..benar2 bergerak!” gumamnya dalam hati.
“Siapa nama kamu dek?” Tanyanya pada anak itu. Anak perempuan yang baru beranjak remaja itu diam saja, tak berani menjawab pertanyaan Aida. Dia hanya tertunduk dan wajahnya memerah. Aida penasaran tentang apa yang sedang melayang di dalam pikiran anak perempuan itu.
Setelah meletakkan alat periksa hamil itu Aida menyuruh anak itu duduk sambil memandang wajahnya sekilas. Aida mendapati wajah itu kini begitu datar tanpa ekspresi, bibirnya juga kering dan pecah-pecah. Aida mengambil gelas dan mengisikannya dengan gula, satu sachet teh sariwangi dan air hangat dari dispenser kemudian memberi dia minum. “Tampaknya dia sedang tidak mood untuk kuajak berbicara.” Gumam Aida.
Mereka hanya duduk di ruangan itu bersama dengan hening dan detik sang waktu yang berdenting hingga akhirnya ibunya dan wanita itu masuk ke ruang periksa.
“Bagaimana tekanan darahnya Ida?” Tanya ibunya. “Tekanan darahnya normal ma, 90 per 70.” Jawab Aida kemudian. Ibu Uli memeriksa lagi anak itu, lalu memberinya suntikan vitamin dan Neurobion. Ibu Uli meninggalkan wanita itu bersama anaknya di ruangan periksa dan memanggil Aida keluar. “Mama tidak mau jika anak itu diaborsi. Anak itu akan kita rawat di sini hingga dia melahirkan, kamu mau kan membantu mama?” Tanya ibu Uli kepada puteri sulungnya.
“Jadi rawat inap nih ceritanya ma, tapi kan Tina dan Hesti sedang cuti ma?” “Mama sudah telepon, 5 hari lagi Tina datang. Tak usah khawatir, untuk sementara kitalah yang merawatnya ya?” Bujuk ibunya. “Baiklah ma” sahut Aida.
************
Ibu Etti pulang dan kembali keesokan pagi membawa semua keperluan Lina, beserta buku-buku pelajarannya. Ternyata Lina masih kelas 6 SD. Dia tidak bisa mengikuti ujian kelulusan SD karena kejadian yang menimpanya itu, sungguh tragis. Aida merasa kasihan melihatnya. “Dia anak yang manis dan cantik. Tapi dia harus mengalami hal buruk seperti ini. Benar-benar biadab pria yang telah memperkosanya itu.” Bisik Aida dalam hati. Ibu itu menemani anaknya itu hingga sore, lalu pulang kembali ke kampungnya setelah malam. Dalam lima hari penuh Aida tinggal di klinik merawat Lina. Aida memperhatikan seluruh gerak-geriknya. Pada hari pertama dan ke dua Lina masih diam dan takut, apalagi ketika melihat jika ada pasien lelaki yang agak tua, dia langsung sembunyi ke bawah kolong tempat tidur. Namun di hari ke tiga tengah malam, Aida mendapatinya sedang menangis di tempat tidurnya. Ternyata Lina bermimpi buruk. Aida terenyuh melihat tetesan air mata itu, lalu mendekati Lina dan merangkulnya.
“Jangan takut adik sayang. kakak ada di sini menemanimu, ” Bisik Aida di telinga Lina. Setelah selang beberapa jam, Lina kembali tenang, matanya yang memerah dan bengkak penuh airmata diusap oleh Aida dengan tissue. Aida perlahan bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi pada anak itu. Lina akhirnya mau membuka mulut dan menceritakan kejadian yang menghantuinya tiap malam. **********
Enam bulan yang lalu Lina pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, tidak seperti biasanya dia tidak diantar ke sekolah oleh ayahnya naik sepeda motor. Karena papanya sakit, terpaksa Lina pergi ke sekolah sendirian dengan berjalan kaki. Siang terik dan sepi ketika Lina sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah, seorang lelaki menghampirinya dan membujuknya untuk masuk ke dalam sebuah pondok di dekat perkebunan sawit, dengan rayuan mau kasih coklat. Gadis itu dengan polosnya ikut saja hingga akhirnya lelaki itu merenggut kesuciannya saat itu juga. Lina tidak mengerti meskipun merasa sakit Lina mendiamkannya saja, karena dia tidak mau membuat sedih ayah dan ibunya, apalagi ayahnyanya sedang sakit saat itu. Lina pulang ke rumah seperti tidak terjadi apa-apa. Lina juga tidak menunjukkan keanehan.
“Lina muntah-muntah kakak. tapi Lina takut bilang sama mama, takut dimarahin. Lama-kelamaan perut Lina membesar dan Lina pernah jatuh pingsan. Lina di bawa ke dokter, lalu mama marah-marah dan memukuli Lina.Tapi Lina gak mengerti ada apa dengan Lina. Lina dibawa mama ke beberapa klinik, Lina juga gak mengerti kenapa mama meninggalkan Lina di sini.” Sahutnya dengan linangan air matanya bak sungai yang mengalir deras itu.
“Aku bingung apakah harus memberitahu padanya bahwa dia sedang mengandung anaknya, atau.. akh.. sudahlah, biarkanlah ibunya yang akan memberitahunya, toh ibuku juga tidak memberi aba-aba untuk memberi tahu hal itu padanya. Aku takut nanti aku salah.” Gumam Aida lirih jauh di dalam lubuk hatinya yang masih tak percaya dengan hal tragis yang menimpa perempuan remaja itu.
“Bagaimana nanti dengan masa depan anak ini, betapa malangnya nasibmu adik kecilku, semoga lelaki jahanam itu mendapatkan balasan yang setimpal ya adik, semoga juga Tuhan yang maha melihat di atas sana senantiasa menjaga dan memberikan yang terbaik buatmu kelak.” Doa Aida malam itu.
Hari ke 4 Lina mulai menunjukkan sifat aslinya. Dia anak yang rajin. Dia suka membaca buku, hal yang bertolak belakang dengan Aida. Tapi karena dia suka bertanya banyak hal, terpaksa Aida juga ikut-ikutan membaca buku agar bisa menjawab seluruh pertanyaan Lina dengan benar. Semangatnya untuk bisa tamat Sekolah Dasar sangat tinggi, oleh sebab itu dia banyak belajar. Katanya dia ingin jadi perawat, seperti kakakku Aida. “Hahaha.. dia kira aku perawat, padahal aku hanya membantu mamaku di sini sambil menunggu perawatnya pulang dari cuti!” Gumam Aida sambil tertawa sendiri di dalam kamarnya. “Tapi biarlah aku berubah menjadi perawatmu sampai kamu melahirkan nanti ya dik..” gumamnya lagi dalam hati.
Lama-kelamaan Aida jadi sayang pada anak itu, karena Lina suka membantunya memasak di rumah. Dia juga kerap menemani Aida mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Benar-benar Aida tidak kesepian seperti biasanya. Aida juga suka membelikannya sesuatu jika pulang kuliah. Ketika pulang dari kuliah dia pasti menyambut Aida dan berkata: “Kakak, ada PR lagi gak dari kuliah?”
Jika Aida tidak punya PR, mereka akan bertukar cerita tentang hal-hal lucu. Tentang teman-teman Aida, tentang teman Lina. Aida tercengang ketika menyadari ternyata cara berfikir Lina yang cukup dewasa, tidak sama seperti anak seumuran dia. Lina akan senang sekali jika Aida memberikannya buku bacaan dan komik. Lina pasti akan menceritakan ulang padanya semua buku yang Aida belikan padanya setelah habis melahapnya.
Tina, sang bidan yang dinanti-nanti akhirnya datang. Tina datang lebih lama dari janjinya, dua minggu kemudian baru dia datang. Aida akhirnya bisa bebas bergerak dan kembali ke rumah. Namun Aida tetap ingin melihat perkembangan Lina tiap hari. Ketika tiba harinya untuk melahirkan, ibunya datang kembali. Ternyata Lina tidak bisa melahirkan normal sebab rahimnya masih belum kuat karena dia masih sangat muda. Akhirnya dia dioperasi cesar dan lahirlah puterinya, persis seperti wajahnya. Yang membuat berbeda hanyalah tahi lalatnya. Si kecil tidak punya tahi lalat seperti mamanya, tapi yang lainnya, semua sama.
Sebulan sesudah melahirkan Lina masih dirawat di klinik, menunggu agar jahitan bekas operasi di bawah pusarnya itu benar-benar kering dan agar efek obat bius ditubuhnya benar-benar hilang serta kesehatan tubuhnya pulih kembali. Tiba harinya Lina harus kembali ke kampungnya. Aida merasa sedih, karena harus kehilangan seorang adik perempuan yang baik, pintar lagi. Lina lalu memberikan Aida sebuah lipatan kertas bergambar Sailormoon, tokoh kartun kesayangan Aida.
“Wah ternyata Lina pinter melukis juga ya?” sahut aida dengan perasaan haru. Lina memeluknya dan menangis. Aida merasa sangat tersentuh dan meneteskan bulir air dari ke dua matanya. “Ya sudah, nanti sampai dikampung, Lina harus belajar ya, harus bisa tamat sekolah. Biar bisa jadi perawat seperti kakak, ok adik?” Celetuk Aida masih dalam dekapan Lina. “Iya, kakak juga sehat-sehat ya.” sahutnya. “Aku mau rajin belajar supaya bisa seperti kakak.” sahutnya sedih. “Kakak doakan kamu berhasil meraih cita-citamu, tetap semangat ya, pasti bisa tercapai!” “Terimakasih kakak sayang” sahutnya dan melepaskan pelukannya. Lalu mereka pergi dengan lambaian pilu.
***************
Tak lama kemudian Ibu Uli datang menghampiri puterinya. “Ibu sudah berdiskusi dengan ayah.” “Mengenai apa ma?” Tanya Aida bingung.
“Kita akan mengadopsi anak Lina, dia akan jadi saudara perempuanmu.” “Ma, sebenarnya aku kurang setuju, namun karena aku tidak punya saudara perempuan, yah gak apa2 deh ma.” Jawab Aida pada ibunya. “Lagian mereka keluarga tidak mampu nak, gak apa-apalah kita membantu orang yang susah, dan bayi itu gak berdosa lho.” balas ibunya. “Baiklah ma.” Batin Aida bergumam dan berlalu menuju box bayi di dalam kamar belakang. Diraihnya bayi itu dari tempat tidurnya, dan memandangi wajah mungil polos dan kemerahan itu. “Ya, dia adik kecilku Mytha. Akan kuberikan dia kecupan selamat malam dan akan kutemani dia dalam mimpi indahnya.” Gumam Aida.
***The end*** Adik Kecilku Mytha
di tulis oleh: Meilinda Siagian
Ditulis Oleh : Unknown - Inspirasi Tiada Batas
Sobat sedang membaca artikel tentang
Kisah Pilu Seorang Kakak terhadap Adiknya
. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya.
0 Komentar untuk " Kisah Pilu Seorang Kakak terhadap Adiknya "