Maut di Balik Kawah Raksasa Siberia

Setiap hari, manusia berurusan dengan metana, salah satu bahan utama dari sesuatu yang seringkali dianggap tak sopan: kentut.

Mungkin, itu mengapa metana juga disebut sebagai 'gas alami'. Namun, sayangnya, tak hanya kita yang buang angin akibat akumulasi gas di dalam perut. Bumi sendiri pun 'kentut'.

Baru-baru ini, 3 raksasa kawah baru -- yang salah satu di antaranya memiliki lebar 100 kaki atau 30,48 meter dan kedalaman 200 kaki atau 60,96 meter -- ditemukan di tanah beku (permafrost) Siberia. Para ahli meneliti dikirim ke lokasi untuk menemukan apa sebenarnya yang membentuk lubang raksasa itu.

Sejak video kawah itu diunggah ke internet dan menyebar, dunia maya dipenuhi rumor dan spekulasi. Ada yang menduga lubang tersebut bikinan UFO, pintu rahasia menuju kedalaman Bumi. Atau sejumlah orang mengira itu adalah situs uji coba senjata atau bekas tumbukan meteorit.

Ternyata, penjelasan atas fenomena itu lebih mengkhawatirkan daripada serangan asteroid dari angkasa luar: diduga, setelah dua musim panas berturut-turut, dengan suhu rata-rata 5 derajat Celcius lebih hangat dari biasanya, metana beku yang ada di sana tak cuma meleleh, melainkan meledak!

Para ilmuwan cemas bukan main, kalau-kalau seperti halnya akibat pencernaan buruk yang kronis, fenomena ini bisa berkelanjutan. Metana di udara sekitar kawah ini sudah terukur 53.000 kali konsentrasi normal.

Kemudian, hanya dalam waktu seminggu, tim dari Stockholm University menemukan 'gelembung metana yang luas' yang dilontarkan dari dasar laut perairan Siberia. Kolom gelembung gas itu muncul ke permukaan di sekitar kapal pemecah es para ilmuwan di perairan jenuh, dengan 10 sampai 50 kali kandungan metana lebih banyak dari biasanya.

Apa yang terjadi di laut setara dengan permafrost yang meleleh, hancurnya kristal beku yang disebut hidrat metana (methane hydrates)-- yang terkunci rapat ribuan tahun oleh tekanan dan suhu lautan dalam.

Badan Peneliti Kelautan Amerika Serikat atau US Office of Naval Research mengkalkulasi, hidrat metana mengandung triliunan ton hidrokrabon, dari 2 hingga 10 kali jumlah deposit bahan bakar fosil konvensional, namun terlalu berbahaya untuk menambangnya. Kini, saat temperatur laut meningkat, mereka mulai runtuh, memuntahkan sebanyak mungkin gas ke langit, sementara tundra mencair akibatnya.

Metana yang terlepas di udara memproduksi 86 kali efek rumah kaca yang memerangkap panas dari karbon dioksida. Meski CO2 tetap berada di atmosfer jauh lebih lama, setelah 100 tahun, metana masih 30 kali lebih kuat. Dengan peningkatan tinggi permukaan laut dari 3-6 kaki yang sudah diprediksi terjadi pada akhir abad ini, perut Bumi yang 'kembung' bisa menghancurkan peradaban manusia.


Jadi, apa yang bisa kita lakukan?

Alan Weisman, penulis buku-buku terkemuka bertema lingkungan, salah satunya 'The World Without Us' berpendapat, ada 3 hal yang mutlak harus dilakukan.

Pertama, adalah mengenali penyebab terjadinya fenomena itu. Bahwa kenaikan temperatur, daratan yang menghangat, dan lautan yang melepaskan lebih banyak metana -- yang akan menghangatkan hal-hal lain kemudian -- sangat berbahaya mempercepat letusan. Pemanasan mengakibatkan lebih banyak pemanasan.

"Kedua, kita harus mengakui bahwa kita lah, manusia, yang memulai lingkaran setan ini. Kaitan antara bahan bakar yang mendorong cepat kemajuan industri, kelebihan CO2 dan metana di atmosfer, adalah mereka yang meraup keuntungan menjijikan itu," kata dia, dalam opini yang dimuat CNN, 12 Agustus 2014.

Ketiga, manusia harus berhenti berpura-pura mengatakan bahwa energi yang berasal dengan cara menghancurkan batuan dasar Bumi sebagai energi 'bersih'.

Membakar metana tak hanya berisiko, namun sumur yang retak berpotensi bocor. Setidaknya 2% dari output metana merembes ke atmosfer, makin bikin tebal lapisan gas yang sudah mengubah Bumi menjadi tempat yang luar biasa panas. Dengan kata lain, menurut Weisman, metana bukan pilihan tepat untuk menggantikan bahan bakar fosil.

Fokus manusia, kata dia, sebaiknya diarahkan untuk pilihan energi yang benar-benar bersih, seperti angin dan matahari.

Terakhir kali ada banyak CO2 di atmosfer ini adalah 3 juta tahun yang lalu, ketika laut 80 sampai 100 kaki lebih tinggi. Sejak Revolusi Industri, metana di atmosfer lebih dari dua kali lipatnya, dan jumlah sekarang yang ke luar dari laut saja 34 kali lipat -- dari apa yang diduga terjadi tujuh tahun yang lalu.

"Sampai kita berhenti menempatkan lebih banyak karbon dioksida dan metana di langit, mempersiapkan diri untuk menghadapi 'kentut' yang lebih kasar dan busuk yang bisa mempengaruhi masa depan manusia. Maka kota-kota pesisir, delta subur dan banyak tanaman padi di dunia terancam oleh banjir atau salinasi dari laut yang meluap. Dan dengan panen gandum diperkirakan akan turun 10% untuk masing-masing tambahan 1 derajat Celcius dari suhu rata-rata -- melampuai level gas rumah kaca bukan hanya vulgar - tapi mematikan."

Hal senada juga diungkap dalam jurnal Nature baru-baru ini. "Udara di dekat bagian bawah kawah mengandung konsentrasi yang sangat tinggi dari metana -- hingga 9,6% -- dalam tes yang dilakukan di lokasi pada tanggal 16 Juli 2014, kata Andrei Plekhanov, arkeolog dari Scientific Centre of Arctic Studies di Salekhard, Rusia. Plekhanov, yang memimpin ekspedisi ke kawah, mengatakan bahwa udara biasanya hanya mengandung 0,000179% metana. (Tnt)

Ditulis Oleh : Unknown - Inspirasi Tiada Batas

Safron Haslan Sobat sedang membaca artikel tentang Maut di Balik Kawah Raksasa Siberia . Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya.

:: Get this widget ! ::

Bagikan :
+
0 Komentar untuk " Maut di Balik Kawah Raksasa Siberia "

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top